Assalamu'alaikum Wr.Wb
Rumitnya malas itu tak berwujud. Ia datang bak cendawan di musim hujan, diam-diam lalu merajai. Bagi pribadi yang lalai,
kehadiran malas memang sangat nikmat. Memanjakan sekaligus memberikan
janji indah bahwa masalah akan tuntas pada waktunya.
Siapa yang tak tergoda dengan janji demikian. Masalah bisa tuntas
tanpa kerja keras. Hanya saja bila kita mau jeli untuk mencermati
kemalasan ini, kita akan sadar bahwa malas adalah jebakan perasaan yang
tersembunyi.
Begitulah, malas adalah musuh yang datang dengan wajah yang ramah. Karena itu tadi, malas adalah jebakan perasaan. Ia seolah mengajak kita berpikir optimis tapi mengabaikan makna ikhtiar. Melapangkan perasaan dari kegalauan-kegalauan, tapi mendiamkan diri dalam kesulitan. Singkatnya, malas mengajak kita memanjangkan harapan, tapi justru pada waktu yang bersamaan mengurung niat untuk memperpendek ikhtiar.
Begitulah, malas adalah musuh yang datang dengan wajah yang ramah. Karena itu tadi, malas adalah jebakan perasaan. Ia seolah mengajak kita berpikir optimis tapi mengabaikan makna ikhtiar. Melapangkan perasaan dari kegalauan-kegalauan, tapi mendiamkan diri dalam kesulitan. Singkatnya, malas mengajak kita memanjangkan harapan, tapi justru pada waktu yang bersamaan mengurung niat untuk memperpendek ikhtiar.
Jebakan perasaan ini akan semakin berbahaya bila kita tak segera
sadar. Rencana-rencana yang telah ditekadkan tak akan pernah tunai, bila
malas masih merajai. Biasanya rasa malas hadir saat kita mengalami
kebuntuan. Ketika masalah rasanya tak mungkin untuk dilewati. Saat
itulah rasa malas hadir untuk menawarkan ketenangan, “semua baik-baik
saja” begitulah bisikannya.
Tak ada yang salah memang dengan bisikan ini. Bahayanya baru akan
timbul bila diri ini salah menyikapi bisikan itu. Karenanya, kita harus
jeli terhadap segala perasaan yang menghampiri. Seperti malas, mulanya
ia datang dengan wajah yang ramah. Selanjutnya, rasa malas mengajak kita
untuk meninggalkan masalah tanpa terlebih dahulu menyelesaikannya.
Penyebab lainnya, rasa malas hadir karena kita memberikan jeda yang panjang terhadap rangkaian ikhtiar kita. Malas menyelinap di antara jeda itu. Kita pun mengaminkan kehadirannya sebagai suatu keniscayaan, lalu terus menikmati. Sampai akhirnya, diri ini lupa bahwa ada kerja-kerja besar yang belum tuntas.
Penyebab lainnya, rasa malas hadir karena kita memberikan jeda yang panjang terhadap rangkaian ikhtiar kita. Malas menyelinap di antara jeda itu. Kita pun mengaminkan kehadirannya sebagai suatu keniscayaan, lalu terus menikmati. Sampai akhirnya, diri ini lupa bahwa ada kerja-kerja besar yang belum tuntas.
Ya, malas memang terasa nikmat. Itulah godaan terberatnya. Oleh
karenanya, sebelum malas kian merajai kita harus segera bergeliat
menceraikannya. Apapun alasannya, meninggalkan kemalasan dengan segera
adalah pilihan bijak.
Mari, hitung kembali betapa banyak sudah waktu kita yang tergerus
kemalasan. Kesempatan yang hilang akibat malas menjadi raja. Dan kini,
tak ada pilihan lagi. Waktu kita kian menipis, sementara amanah masih
terlalu banyak. Karenanya, sekali lagi katakanlah dengan tegas dalam
diri.
“Malas, kita cerai”
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas,
rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga
berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan
kematian).” (HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706).
Wassalamu;alaikum Wr. Wb
Sumber: anak kampung pikiran global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar