Assalamu’alaikum Wr. Wb
Kemarin, ketika saya sedang di perjalanan pulang menuju rumah
saya yang di Klaten, tiba-tiba perjalanan saya harus diberhentikan karena
sedang ada kereta yang melintas, namun disini bukan kereta api yang saya
maksud, adalah kereta jawa yang sedang membawa keranda yang berisikan jenazah
manusia. Perjalanan saya berhenti untuk sekadar memberi penghormatan terakhir.
Ternyata Allah memang sedang menunjukkan kepada saya dan semua pengendara yang
akan melintasi jalan tersebut, bahwa suatu hari kita yang saat ini sedang
berada di dalam kendaraan yang mewah ber-AC, kelak akan berada di keranda
bertutupkan kain hijau bertuliskan, Innalillahi
wa inna ilaihi raji’un. Iya, keranda yang menuju pemakaman itu suatu hari
akan kita kendarai. Siap atau tidak, suka atau tidak, kematian pasti datang.
Artinya lagi, memang di bumi ini kita hanya singgah. Yang namanya singgah pasti
tak lama. Kalau kelamaan, diusir sama yang punya tempat dong.
Saya berdiam sejenak sambil menikmati keranda yang lewat
dihadapan saya, setelah dipikir-pikir jika saya hanya singgah di dunia ini,
mengapa saya dan banyak sekali manusia yang terpedaya indahnya, tercengang, dan
terlena dengan segala kenikmatan semu yang disajikan di tempat persinggahan
semnetara ini? Pada hal jika di kaji ulang, Allah menempatkan kita di tempat
singgah ini dan diberi rezeki selama singgah pasti ada tujuannya, trus apa dong
tujuannya? tidak lain agar kita siap melanjutkan perjalanan menuju rumah yang
sesungguhnya, bukan malah kita bengong, tersasar, dan menikmatai persinggahan
ini, betah lagi alias tak mau pulang. How
STUPID we are.
Sesampainya dirumah kembali saya merenung, kalau hidup ini
hanya persinggahan sementara maka semestinya saya, kita semua harus jadi tamu
yang baik dong. Tamu yang menurut apa kata si empunya rumah dan tamu yang tahu
diri untuk siap-siap beranjak pulang, tak betah berlama-lama ditempat singgah.
Teringat janji Allah bahwa di ujung perjalanan kita nanti, Allah menyiapkan
rumah yang sangat indah, yang di bawahnya mengalir air sungai, yang tamannya
penuh dengan buah dan bunga yang indah, haduuuuh…membayangkannya saja sudah
bikin ngiler…hehehe
Namun, untuk sampai di rumah yang dijanjikan Allah, tentu
syaratnya tidak mudah, beli apartemen di Jakarta yang tanpa tanah saja
syaratnya berderet-deret kok, apa lagi rumah yang seindah rumah Allah. Jadi
tempat persinggahan ini sesungguhnya tak ada apa-apanya dibanding tempat yang
dijanjikan Allah. Namun, kita justru terpana dengan persinggahan sementara ini,
lalu menganggap penampungan sementara ini abadi, dan sangat indah. Pada hal itu
hanya fatamorgana saja, yang akan membuat kita tertipu, menjadi kabur hati kita
karena keterpanaan yang menerpa.
Sekarang, dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini hanya tempat
persinggahan sementara, kita TIDAK boleh terpesona, terlena, apalagi tersesat
dan tak tahu jalan pulang. PARAH!!! Lebih baik tak terlalu nikmat disini, tapi
nikmat disana, tempat yang sudah dijanjikan oleh Allah.
Ketika saya membayangkan jika raga yang diusung didalam
keranda bertutupkan kain hijau bermerk, “Innalillahi
wa inna illaihi raji’un”, itu adalah saya. Ah…rasanya saya belum siap
berada didalam sana, belum siap. Sungguh kematian adalah guru yang baik,
kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi
alur kehidupan agar tak lari menyimpang. Satu hal yang pasti adalah, NAPAS INI
AKAN BERHENTI. Yang jelas hanya soal waktu, iya hanya masalah waktu dan masalah
tempat kita akan dijemput.
Bicara soal kematian, saya teringat ucapan guru ngaji saya
waktu di pesantren, “Jangan sampai jatah
waktu yang Allah berikan kepadamu terhamburkan sia-sia, jangan sampai ketika
ajal menjemput kamu mengatakan, ‘Ya Allah, mundurkanlah ajal saya sedetik saja.
Akan saya gunakan untuk bertobat dan mengejar ketinggalan’. Permohonan tinggalah
permohonan karena kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan lagi.” Saya ingin ketika waktu itu datang, saya
berada pada tingkat iman yang tinggi sehingga saya bisa ikhlas dan berpulang
dengan senyum termanis. Saya, dan mungkin anda sekalian ingin berada di antara
orang-orang yang mencintai kita dan kita cintai, kan? Kematian dengan cara yang
indah ini pastilah sebuah hasil usaha yang keras dari mulai tobat detik ini
juga dan terus beristiqomah hingga ajal menjemput. Tak ada yang INSTAN, semua
butuh usaha keras.
Sungguh kematian memberikan tamparan yang sangat keras
sehingga saya sadar bahwa saya dan kita semua bukan siapa-siapa dan bahwa kita
tidak memiliki apa-apa. So, masih pantaskah kita sombong dengan semua yang kita
miliki? masihkah kita lupa shalat ketika meeting?
masih sanggupkah kita duduk manis sambil bercengkerama dengan para sahabat di
kafe sementara adzan memanggil-manggil? masih punya hati nuranikah kita ketika
melihat anak-anak basah kuyup meraup makanan sisa dari bak sampah milik si
kaya? dan, masih layakkah kita dibilang punya perasaan ketika tanpa rasa
berdosa kita menyakiti hati orang lain. merendahkan sahabat kita?
STOP!!! Sudahi berlaku sombong, didepan kita terbentang lebar
lahan untuk berbuat amal dan menolong mereka. Selembar uang 5000 rupiah kita
bisa untuk sepiring nasi dengan lauk pauk mereka yang belum makan sepekan. STOP
berburuk sangka kepada manusia lain, dan STOP semua kesia-siaan.
Ah…memang keranda tersebut telah mengajarkan kepada saya
bagaimana saya harus menjalani kehidupan. Setiap detik adalah potongan umur
kita. Jadi, sudahlah, stop menjadi sombong dengan tidak mau shalat, dengan
melalaikan sedekah, dengan tetap tidur pulas dimalam hari, pada hal belum
shalat isya’, dan masuk dalam kehangatan selimut saat adzan subuh. Ingatlah
kita masih diberi waktu sekarang. Esok? Belum tahu…
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Sumber: PPT1