Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dalam
sebuah pendakian ke Gunung Merbabu, saya bersama ke dua teman saya berhasil
menjamah puncak tertinggi gunung tersebut. Namun, terdapat sebuah cerita yang
menarik dalam kisah pendakian kami. Kami sampai pada puncak pukul 17.10 WIB,
tanpa disadari kalau tenda kami berada sekitar 500m dari puncak, dan yang pasti
kami harus turun sebab tidak mungkin kami harus bermalam dipuncak tanpa
menggunakan apa-apa. Setelah hari semakin petang, ditambah kedua tangan saya
yang sudah mulai kaku akibat kedinginan, kami memutuskan untuk turun. Namun,
kami masih merundingkan siapa yang akan memimpin perjalanan pulang. Awalnya
teman saya yang bernama Tris yang akan memimpin perjalanan, saya percaya kalau
dia mampu membawa saya sampai bawah, namun saya masih ragu dengan kemampuannya
karena dia jarang mendaki, akhirnnya saya memilih Adzin untuk membawa kami
berdua turun, sebab saya mengerti kalau dia sering mendaki sehingga saya
mempercayakan segalanya kepadanya agar kita bisa sampai di tenda. Akhirnya
dengan penuh perjuangan kami bisa sampai di tenda dengan selamat.
Melihat
cerita diatas terdapat perbedaan yang signifikan antara percaya dan mempercayakan.
Sikap saya kepada Tris dalam cerita diatas adalah lambang dari rasa “percaya”,
sedangkan sikap saya kepada Adzin adalah lambang “mempercayakan”.
Setelah
saya renungkan kembali ternyata memang benar, terkadang manusia berada pada
tingkat percaya kepada Sang Pencipta, namun tidak bersedia total mempercayakan
hidupnya dalam iman kepada-Nya. Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak akan
selingkuh, namun tidak mempercayakan sepenuhnya keyakinannya tersebut, akhirnya
rasa cemburu buta dan curiga masih saja mewarnai hubungan mereka. Seorang
pemimpin percaya bahwa anak buahnya mampu menyelesaikan pekerjaan yang
diamanahkannya dengan baik, namun dia tidak mempercayakan sepenuhnya kepada
anak buahnya, akhirnya setiap waktu sering dikontrol dan alhasil membuat
kreativitas anak buahnya terkebiri.
Saya
tidak akan mempercayakan sepenuhnya kepada teman saya Adzin jika saya tidak
terlebih dahulu percaya kalau Adzin sering mendaki, percaya bahwa dia lebih
berpengalaman dari pada saya dan Tris. Parlindungan Marpaung seorang Training
dan Consulting menuliskan bahwa, Hidup
yang mempercayakan merupakan penyerahan secara total kehidupan kita setelah
kita mengetahui siapa yang kita percayai. Hidup yang memercayakan bukan berarti
menyerah secara total dan pasrah tanpa penyertaan akal budi untuk melihat
realitas yang ada. Ketika seorang wanita benar-benar mempercayakan kebahagiaannya
kepada seorang lelaki, berarti dia telah mengetahui seluk beluk lelaki tersebut
dan yakin bahwa lelaki tersebut akan memberikan kebahagiaan kepadanya. Sama
halnya dalam sebuah Tim, akan semakin solid dan memiliki performansi tinggi (High Performance Team) pada saat
seluruh anggota dan pengurusnya saling mempercayai. Seorang pemimpin yang
mempercayakan pekerjaannya kepada karyawan akan memberikan penugasan yang
jelas, serta standar hasil yang telah disepakati bersama. Bahkan seorang
karyawan yang mempercayakan diri dan keluarga pada perusahaan akan
mengembangkan rasa memiliki terhadap perusahaan. baginya, dia akan berfikir dua
kali jika akan melakukan hal-hal yang merugikan perusahaan, karena perusahaan
adalah lahan pertanian yang harus dirawat supaya tetap akan menghasilkan.
Dalam
kehidupan spiritual, mempercayakan diri kepada Sang Pencipta berarti sadar
bahwa Dia Maha Kuasa dan Maha Tahu serta Maha Besar. Mempercayakan diri kepada
Sang Pencipta berarti mengenal Dia melalui kehidupan ibadah yang baik, membaca
Kitab Suci, beramal kepada sesama, dan sebagainya. Terkadang dalam
pengakuannya, manusia percaya kepada Kebesaran dan Kemahakuasaan Sang Pencipta,
namun tidak melakukan penyerahan secara total sehingga dia tetap saja merasa
khawatir dan gentar ketika menghadapi permasalahan besar. Semoga bisa menjadi
bahan renungan buat kita semua…Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar